BILIK2

Wednesday, January 19, 2011

Secoret Kisah Sedih di Bumi Andalus (1500-1700)

Penaklukan Tentera Kristian keatas Andalus


Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika algojo penjara itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu boot keras milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. "Hei!... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya.

Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah seorang tua sang tahanan yang tesangat kurus dan hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan!. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak meneriakkan kata “Rabbi! wa ana abduka..”. Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustaz.!. InsyaAllah tempatmu di Syurga."

Muslim diseksa di sebuah penjara di Andalus


Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, algojo penjara itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerebab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah hai orang tua bodoh! Bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan suara-suara yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh...! Aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai Kekasihku yang amat kucintai,iaitu Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan kerana akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk!? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu
aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Muslim bersedia untuk di seksa

Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu keras Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah buku kecil. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. "Berikan buku itu, hai si tua bangsat!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!"ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Algojo bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan algojo penjara itu merasa lebih puas lagi ketika melihat titisan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh itu. Dengan tidak semena-mena, mendadak algojo itu termenung.

"Ah... seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini." Suara hati Roberto tertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan aneh dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya buku yang seperti ini lagi di bumi Sepanyol.

Kitab Suci Al Quran dibakar


Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di ‘Inquisition Field’(lapangan tempat pembunuhan beramai-ramai kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.

Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergantungan, berayun-ayun ditiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

"Pesta Darah"-Inquisition Field(Lapangan Pembantaian)umat Islam Andalus


Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di Inquisition Field yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semuanya. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang pergantungan. Perlahan-lahan kanak-kanak itu mendekati tubuh sang ibu yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti ayahnya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa..? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi... "

Budak kecil itu akhirnya menangis semahu-mahunya, ketika sang ibu tak jua menjawab panggilannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

Muslim sibakar hidup-hidup

"Hei!... Siapa disana?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi... " jawabnya memohon belas kasih. "Hah... siapa namamu budak, cuba ulang!?" Bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah... " dia kembali menjawab dengan agak kasar.

Tiba-tiba "Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai budak... ! Wajahmu comel tapi namamu hodoh. Aku benci namamu.

Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang Adolf Roberto... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu."

Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata.
Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar dari lapangan Inquisition. Akhirnya budak comel itu hidup bersama mereka.

Perempuan muslim dipaksa memilih, masuk Kristian atau menelan pisau


Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang
melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah tanda hitam ia berteriak histeria, "Abi... Abi... Abi... " Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan kenangan masa kecilnya. Ia masih ingat betul, bahawa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai tanda hitam pada bahagian pusat.

Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha... " Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.

Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu... " Terdengar suara Roberto meminta belas.
Ustaz mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu," Setelah selesai pesanan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah… "Asyahadu anla Illaaha ilAllah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah... . Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini. Lalu, bagaiman nasib sang algojo tersebut….?

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya... "


Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

Benarlah firman Allah...

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS>30:30)


Syeikh Al-Islam Turki yang terakhir iaitu As-Syeikh Mustafa Al Basri telah menegaskan dalam bukunya ...

Sekularisma yang memisahkan ajaran agama dengan kehidupan dunia merupakan jalan paling mudah untuk menjadi murtad.

Monday, January 17, 2011

HIDAYAH & TAUFIQ

Assalamualaikum…

Alhamdulillah wassyukrulillah.

Dengan Hidayah dan Taufik Allah SWT, kita mengenal Allah SWT. Tuhan kita,Pencipta kita, Yang Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Yang Maha mengetahui, Maha Halus(Lembut), dan pada tiap2 sesuatu, Dialah Yang Maha Mengetahui baik dan buruknya.

Dengan Hidayah Dan Taufik Allah, Kita kenal Rasulullah, Utusan Allah. Yang mana melaluinya (Rasulullah) dikeluarkan kita drpd kesesatan. Melalui baginda, dikeluarkan kita dari kejahilan. Melalui baginda, dikeluarkan kita daripada keluh kesah, resah gelisah , sesak dada disebabkan tiada beragama benar. Melalui baginda juga lah, Allah SWT mengangkat darjat umat manusia selepas kelahiran baginda menjadi sebaik2 umat, dan dikurniakan keistimewaan berupa syafaat baginda Rasulullah SAW pada hari ‘kegemparan’ (Kiamat) kpd mereka yang terpilih.

Dengan Hidayah dan Taufik Allah SWT, hati ini terdorong untuk melakukan kebaikan, terdidik untuk tidak menurut bisikan nafsu dan syaitan, terpandu kearah jalan yang selamat dan sejahtera, iaitu Islam agama yang diredhai. dengan hidayah dan taufik jugalah, hati kita hidup bercahaya dengan cahaya keimanan, walaupun kekelilingi dengan suramnya kegelapan kemaksiatan batin yang sentiasa saja cuba untuk menelan cahaya tersebut. Ini semua adalah bantuan daripada Allah SWT.

Dengan Hidayah dan Taufik Allah SWT, aku kenal diriku. seorang hamba yang faqir, hina dan lemah. jika bukan kerana Tuhanku lah menghadiahkan aku Hidayah dan Taufik, maka sudah tentu aku terus berada dalam keadaan faqir,hina dan lemah. Dan mungkin aku akan terus terhimpit dilorong kesesatan yang gelap, sempit, kotor dan busuk.

Maka wajiblah aku bersyukur padaMu Ya Allah. Syukur padaMu ya Allah.. Mudah-mudahan Engkau tidak putus-putus memberikan hidayah dan taufik.

ILLAHI…ANTA MAQSUDI WARIDHAAKA MATHLUBI. A’THINI MAHABBATAKA WAMA’RIFATAKA
.

Saturday, January 8, 2011

Tanbih (Tariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah)


Tanbih

Tanbih ini dari Syaekhuna Almarhum Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang bersemayam di Patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah.
Sabda beliau kepada khususnya segenap murid-murid pria maupun wanita, tua maupun muda :

“Semoga ada dalam kebahagiaan, dikaruniai Allah Subhanahu Wata’ala kebahagiaan yang kekal dan abadi dan semoga tak akan timbul keretakan dalam lingkungan kita sekalian.
Pun pula semoga Pimpinan Negara bertambah kemuliaan dan keagungannya supaya dapat melindungi dan membimbing seluruh rakyat dalam keadaan aman, adil dan makmur dhohir maupun bathin.
Pun kami tempat orang bertanya tentang Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, menghaturkan dengan tulus ikhlas wasiat kepada segenap murid-murid : berhati-hatilah dalam segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan peraturan agama maupun negara.
Ta’atilah kedua-duanya tadi sepantasnya, demikianlah sikap manusia yang tetap dalam keimanan, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap Hadlirat Illahi Robbi yang membuktikan perintah dalam agama maupun negara.

Insyafilah hai murid-murid sekalian, janganlah terpaut oleh bujukan nafsu, terpengaruh oleh godaan setan, waspadalah akan jalan penyelewengan terhadap perintah agama maupun negara, agar dapat meneliti diri, kalau kalau tertarik oleh bisikan iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita.

Lebih baik buktikan kebajikan yang timbul dari kesucian :

1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita, baik dlohir maupun batin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun dan saling menghargai.
2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah agama maupun negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya “Adzabun Alim”, yang berarti duka-nestapa untuk selama-lamanya dari dunia sampai dengan akhirat (badan payah hati susah).
3. Terhadap oarang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh, sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yahng lemah-lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebaikan.
4. Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir-miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.

Demikanlah sesungguhnya sikap manusia yang penuh kesadaran, meskipun terhadap orang-orang asing karena mereka itu masih keturunan Nabi Adam a. s. mengingat ayat 70 Surat Irso yang artinya :

“Sangat kami mulyakan keturunan Adam dan kami sebarkan segala yang berada di darat dan di lautan, juga kami mengutamakan mereka lebih utama dai makhluk lainnya.”

Kesimpulan dari ayat ini, bahwa kita sekalian seharusnya saling harga menghargai, jangan timbul kekecewaan, mengingat Surat Al-Maidah yang artinya :

“Hendaklah tolong menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan dan ketaqwaan dengan sungguh-sungguh terhadap agama maupun negara, sebaliknya janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah agama maupun negara".

Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat Surat Al-Kafirun ayat 6 :”Agamamu untuk kamu, agamaku untuk aku”,
Maksudnya jangan terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tetapi janganlah sekali-kali ikut campur.
Cobalah renungakan pepatah leluhur kita:
“ Hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”. Karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri.
Dalam surat An-Nahli ayat 112 diterangkan bahwa :

“Tuhan yang Maha Esa telah memberikan contoh, yakni tempat maupun kampung, desa maupun negara yang dahulunya aman dan tenteram, gemah ripah loh jinawi, namun penduduknya/ penghuninya mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka lalu berkecamuklah bencana kelaparan, penderitaan dan ketakutan yang disebabkan sikap dan perbuatan mereka sendiri”.

Oleh karena demikian, hendaklah segenap murid-murid bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan dlohir-bathin, dunia maupun akhirat, supaya hati tenteram, jasad nyaman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya “ Budi Utama-Jasmani Sempurna “ (Cageur-Bageur).
Tiada lain amalan kita, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai segala kebaikan, menjauhi segala kejahatan dhohir bathin yang bertalian dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syetan.

Wasiat ini harus dilaksanakan dengan seksama oleh segenap murid-murid agar supaya mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Amin.

Patapan Suryalaya, 13 Pebruari 1956
Wasiat ini disampaikan kepada sekalian ikhwan



(KH.A Shohibulwafa Tadjul Arifin)

Kehadiran Hati Dalam Kebersamaan Ilahi


Sheikhuna (guru kami), Sheikh Yusuf Al-Hasani pernah berkata: “Garis pemisah yang membezakan antara zikir dan kelalaian ialah: kehadiran hati bersama Allah s.w.t. (hudur maa Allah).”

Sesungguhnya, rasa zikir itu sendiri ialah, mengingati Allah s.w.t.. Ia bermula dengan zikir lisan (menyebut nama Allah s.w.t. dengan lidah), seterusnya zikir hati (kehadiran hati bersama Allah s.w.t.) dan seterusnya zikir sirr (bersama dalam musyahadah Allah s.w.t. dan kebersamaanNya setelah fana).

Imam Ibn Athoillah As-Sakandari r.a. berkata: “Kamu zikir dengan lisan tanpa kehadiran hati bersama Allah s.w.t. itu lebih baik daripada kamu meninggalkan zikir sama sekali. Boleh jadi, dengan zikir lisan tanpa kehadiran hati tersebut, akan membawa kepada zikir dengan kehadiran hati setelah itu.”

Seseorang yang sudah merasai kelazatan zikir (mengingati Allah s.w.t.) dalam muroqobah (kewaspadaan hati terhadap pandangan Allah s.w.t. kepadanya), akan sentiasa ingat kepadaNya walaupun tanpa lidah yang menyebut namaNya. Ini merupakan suatu zikir zauqi (dalam bentuk perasaan) di mana seseorang itu rasa diawasi oleh Allah s.w.t.. Inilah yang dipanggil dengan kehadiran hati bersama Allah s.w.t..

Ia merupakan natijah daripada perpindahan Ismullah (nama Allah s.w.t.) ke dalam hati seterusnya diterjemahkan dalam bentuk kebersamaan denganNya secara muroqobah (kewaspadaan). Pada tahap ini, akal memainkan peranan yang penting dalam menjaga kebersamaan dalam muroqobah tersebut. Hati pula memainkan peranan dalam menyebut namaNya secara sirr (dari sudut hati) dan lidah pula, digunakan untuk menguatkan rasa kebersamaanNya tersebut, tatkala menyebut namaNya.

Kehidupan ini antara kelalaian dan kehadiran hati bersamaNya. Setiap kelalaian akan menjauhkan kita daripada Allah s.w.t. dan setiap kehadiran hati akan menghampirkan kita kepadaNya.

Ketenangan hati, kebahagiaan hidup dan kelapangan jiwa hanyalah ada pada seseorang yang sentiasa dalam kebersamaanNya, samada dengan muroqobah (kewaspadaan terhadap pandangan Allah s.w.t. terhadap dirinya) ataupun dengan musyahadah (menyaksikan Allah s.w.t. dalam kebersamaanNya) yang merupakan kemuncak kebersamaan denganNya.

Allah s.w.t. berfirman: “Sesungguhnya dengan mengingati Allah, hati akan menjadi tenang”. Ingat itu tempatnya ialah dalam pemikiran dan hati. Lisan sebagai pembantu agar membentuk ingatan kepadaNya di dalam akal dan seterusnya di dalam hati.

Apa yang penting, sentiasalah menghampirkan diri denganNya dalam rangka mengingatiNya. Lakukanlah ketaatan dengan penuh kejujuran dan keikhlasan kepadaNya, kerana ikhlas merupakan jambatan utama dalam membentuk hubungan kebersamaan denganNya. Ramai orang beramal, tetapi tanpa ikhlasan, sehingga amal tersebut tidak mampu membuatkannya lebih menghampiri Allah s.w.t., bahkan menjauhkannya daripadaNya. Ini kerana, dia beramal kerana ianya sudah menjadi kebiasaan baginya. Maka, ibadat itu baginya sekadar adat. Apabila sedemikian, maka kelazatan dalam beribadah tidak dirasai, kerana ibadah yang dilakukan pada hakikatnya, bukan untuk Allah s.w.t., tetapi untuk dirinya sendiri, samada untuk melegakan hati takkala merasa diri tidak membuat kewajiban, tetapi bukan menumpukan amalan kepada Allah s.w.t., yang menjadi matlamat ibadah dan seluruh kehidupannya.

Jadi, apabila ibadahnya terbantut kepada adat semata-mata, ia semakin mengkaburi hakikat kawujudan dirinya. Walaupun dari sudut syariat, dia sudah menunaikan ketaatan, tetapi rahsia syariat, iaitu kelazatan dalam ketaatan, tidak dikecapinya kerana syariat itu dilakukan sebagai adat. Jadi, ikhlaslah dan jujurlah dalam beribadah kepadaNya, semoga dengan itu, akan menjadi jambatan menuju ke kebersamaanNya dengan bantuanNya.

Seseorang yang ingin mengingati seseorang atau sesiapa sahaja, pasti dia akan selalu bertemu dan berbicara dengannya. Jadi, sesiapa yang ingin terus mengingati Allah s.w.t., maka hendaklah dia selalu bertemuNya dalam solat, dan selalu mendengar bicaraNya daripada firman-firmanNya yang kita baca. Bacalah Al-Quran selalu, dengan niat untuk mendengar apa yang Allah s.w.t. ingin sampaikan atau bicarakan kepada kita setiap hari. Dengan niat tersebut, bukalah lembaran Al-Quran dan bacalah di mana sahaja lembaran yang dirasakan kuat keinginan untuk membacanya. Pada ketika itu, dengan niat sebegitu, insya Allah, lafaz-lafaz Al-Quran yang kita baca, menjadi permulaan bagi interaksi antara kita dengan Allah s.w.t.. Akhirnya, Allah s.w.t.-jika Dia kehendaki- akan mencampakkan perasaan atau zauq yang lebih mendalam, terhadap kefahaman ayat-ayat yang dibaca, seolah-olah ayat-ayat tersebut ditujukan khas untuk kita yang membaca.

Dengan hal sedemikian, seseorang dapat menguatkan lagi ikatan hubungan kehambaanNya. Lakukan ketaatan dengan penuh rasa diperhatikanNya, keranaNya, nescaya, pada ketika itu, akan bertambah kuat rasa kerinduan untuk bertemu denganNya dalam kebersamaanNya. Jadikan amalan itu kehambaan kita kepadaNya, bukan sebagai pembina status diri dalam pandangan diri sendiri (contoh, solat banyak untuk rasa diri telahpun solat banyak. Bila baca Al-Quran, untuk rasa diri baik kerana baca Al-Quran dan sebagainya). Lakukanlah segalanya kerana Allah s.w.t. dan untukNya, nescaya akan terbit kehadiran hati bersamaNya. Itulah hakikat zikir dalam kehidupan seseorang hamba, kepada Tuhannya.

Wallahuwalyyutaufiq

Nukilan: Al Fadhil Ust Mukhlis

Mencintai...Dicintai

Merasakan ‘dekat’ dengan Khaliq,satu ahwal (rasa) yg sgt kompleks. Payah dicari, sukar diperolehi. Walaupun bergedung2 ilmu didada, belum tentu mencapai kedekatan ini. Jika kita perhalusi keadaan kita, terutama kita yg mendalami ilmu agama, terkadang terlepas pandang terhadap usaha utk meraih kedekatan ini. Maka sebab itulah kita lihat, ada yg memperdagangkan agama, ada yg hanya pandai bercakap ttg agama,bahkan ilmu agama yg dipelajari bagi sesetengah orang hanyalah sebagai modal utk mendapat sanjungan orang, meraih kedudukan tinggi, memenangi perdebatan dan yg sewaktu dengannya. Alangkah ruginya! bersusah payah mempelajari ilmu agama semata-mata untuk tujuan yg sedemikian. ‘Sesat dalam terang’ kata orang.

Dekat mengiringi erti kasih,sayang,rindu, cinta. Mereka yang berkasih, jika berjauhan merasai dekat dengan kekasihnya. Walaupun jauh dipandangan mata. Jika berhampiran, mereka saling merindui walau sering bertemu setiap hari.Saya secara peribadi terkesan dengan hadith Nabi SAW yg bermaksud: ” Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Brg siapa yg berbuat aniaya bagiKu seorang wali Allah, nescaya Aku benarkanlah bagi memeranginya. Tiadalah berhampir diri kepada hambaKu dengan suatu yg sgt2 Aku kasihi (melainkan) daripada apa yg Aku fardhukan atasnya, dan melazimi hambaku menghampirkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan ‘nafil’ (sunat), hingga Aku kasih akan ia…...”. ( Riwayat Bukhari ).

Antara penjelasan hadith ini ialah, Keutamaan menunaikan ibadah yg dituntut (diwajibkan) oleh Allah SWT mendahului ibadah yg sunat. kerana ia adalah hak kehambaan kita terhadap Allah SWT. tidak boleh tidak, kena laksanakan. Syarat utama pengakuan keimanan seseorang kepada Allah SWT. Tanda mutlak kita hamba, dan Allah Tuhan kita.

Menunaikan suruhan yg wajib, sememangnya kewajipan kita sebagai hambaNya yg beriman. Justeru, bagaimana pula dgn amalan yg sunat? kebanyakan daripada kita terlepas pandang akan nilai amalan sunat ini. Malah terungkap dari lidah sesetengah org; “Alaah.. yg ni sunat saja, tak buat pun takpe..” sedangkan amalan-amalan nawafil (sunat) juga disebutkan dlm hadith ini. Yang merupakan tanda cinta hamba kepada Tuhannya. Sehinggalah Allah pun mengasihinya.

Seorang majikan mempunyai dua orang pekerja. sama pangkat, sama gaji mereka berdua. disuruh kepada kedua orang pekerja tersebut membeli durian dipasar malam. pekerja pertama membeli durian yg bagus dan terus dipersembahkan kepada majikannya. pekerja kedua pula juga membeli durian untuk majikannya. dibeli ditempat yg sama, duriannya sama bagus kualitinya dengan yg pertama, tetapi pekerja itu mengeluarkan dahulu isinya, diletakkan di sebuah piring yg bersih kemudian barulah dipersembahkan pada majikannya disediakan pula dengan minuman dan air utk mencuci tangan. Kedua-dua pekerja itu telah melaksanakan tanggungjawab mereka. tinggal lagi pekerja yg kedua ada menambahkn piring, air mencuci tangan dan minuman. Jelas menunjukkan kasih sayang pekerja itu kepada tuannya. berbanding dengan yg satu lagi. Justeru, tidak layakkah ia memperolehi kasih sayang tuannya?.

Begitulah seseorang hamba yang mengasihi Allah. Disamping menunaikan hak kehambaan, diiringi pula hadiah yang bertatahkan permata cinta. Iaitulah amalan nawafil. bersolat (solat sunat), membaca Alquran, berpuasa, berzikir. Tanpa mengharapkan balasan, tanpa kepentingan apa-apa, melainkan untuk meraih kedekatannya dengan Allah. Supaya suatu masa nanti ia dapat melihat Allah, cinta agungnya. Walaupun ganjaran demi ganjaran dijanjikan Allah kepada hamba yg melakukan sesuatu amalan, ‘demi kerana cinta’ itulah sebab utama. Inilah niat paling luhur, Tahap keikhlasan paling tinggi dalam mengerjakan sesuatu amalan.Maka layaklah ia memperolehi cinta Allah.

Kesimpulannya, apabila kita mencintai Allah, maka pasti diri kita dicintai. Jika cinta makhluk ada penamatnya, samada gembira, atau kecewa. Tapi mencintai Allah pasti dibalasNya dengan cinta yang tiada batasan. Cinta yang ada permulaan, tapi tiada padanya pengakhiran.Demikian inilah nilai sebenar amalan-amalan sunat. Teramat mahal dan tidak boleh dipandang enteng. Menjadi bukti cinta kasih seseorang hamba kepada Allah. Sehinggalah Allah pun mengasihinya.

Wallahuwaliyuttaufiq

Qurbah Islamic Centre
man_7071@yahoo.com

Thursday, January 6, 2011

zikrullah secara menari-nari?


SOALAN : Bolehkah laku zikrullah secara menari-nari?

SELESAI satu ceramah di masjid kami, dalam isu zikrullah ada seorang bertanya penceramah, bolehkah majlis zikrullah dilakukan dalam keadaan berdiri dan menari-nari macam bekhayal-khayalan seperti yang pernah dilakukan oleh sesetengah golongan tarikat sufi. Penceramah tersebut secara spontan menjawab: Rasa saya itu adalah haram, mana boleh zikrullah yang begitu murni dicampurkan dengan tarian, tarian itu haram. Kami menjadi keliru, minta pandangan Dato’, terima kasih.

JEMAAH RAGU,
Sepang

JAWAPAN oleh Dr Harun Din:

SETIAP soalan memang ada jawapan. Jawapan itu bergantung kepadaa pengetahuan yang ada pada penjawabnya.

Kadang-kadang ada yang mengikut ‘rasa’, seperti soalan anda di atas, penjawab itu berkata rasanya tidak boleh. Mungkin juga ada orang lain yang akan menjawab rasanya boleh.

Jawapan bagi persoalan agama bukan boleh dimain dengan ‘rasa’. Ia memerlukan sandaran hukum yang perlu dirujuk kepada sumber yang sahih.

Berkenaan dengan zikrullah, Allah SWT berfirman (mafhumnya): “Iaitu orang-orang yang menyebut dan mengingati Allah semasa mereka berdiri dan duduk dan semasa mereka berbaring mengiring, dan mereka pula memikirkan tentang kejadian langit dan bumi (sambil berkata): ‘Wahai Tuhan kami! Tidaklah Engkau menjadikan benda-benda ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka.’” (Surah ‘Ali-’Imran ayat 191).

Ayat ini memberi isyarat bahawa zikrullah boleh dilakukan dalam pelbagai keadaan dan gaya.

Ummul Mukminin Aisyah r.ha. pernah melaporkan bahawa Rasulullah SAW berzikrullah (berzikir kepada Allah) dalam semua keadaan. Sedang berjalan, menaiki kenderaan, di atas kenderaan, berbaring, duduk dan bermacam lagi pernah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.

Dalam satu riwayat pernah diceritakan bahawa Jaafar bin Abi Talib r.a (sepupu Rasulullah), pernah menari-nari melenggok lentuk di hadapan Rasullullah SAW sebaik sahaja beliau mendengar Rasulullah SAW menyebut kepada beliau, “Allah menjadikan rupa parasmu seiras dengan Allah menciptakan daku.”

Mendengar kata-kata yang seindah dan semurni itu, terus dita’birkan dengan menari-nari di hadapan Rasullullah SAW. Tingkah laku beliau itu atau ‘body language’ beliau tidak ditegah atau ditegur oleh Rasulullah SAW.

Di sinilah dikatakan atau dijadikan asal usul sandaran bahawa menari-nari sambil berzikir kepada Allah yang dilakukan oleh ahli tarikat atau golongan sufiyah, ada sandarannya.

Sahlah berlaku tarian di majlis zikir yang dihadiri oleh ulama besar yang muktabar. Antara mereka ialah al-Imam Izzuddin Abdus Salam dan tidak diengkarinya.

Ditanya Shaikhul Islam Sirajuddin al-Balqini tentang persoalan tari-menari dalam majlis zikir, lalu dijawab beliau dengan mengiyakannya, yakni boleh dilakukan.

Ditanya al-A’llamah Burhanuddin al-Abnasi, perkara yang sama, maka beliau menjawab dengan membolehkannya.

Ditanya ulama besar dalam mazhab Hanafi dan Maliki, semuanya menjawab, “Tidak mengapa dan boleh dilakukan.”

Semua jawapan ini dibuat dengan bersandarkan kepada ayat dalam Surah ‘Ali-’Imran di atas berserta hadis yang diriwayatkan oleh Jaafar bin Abi Talib r.a.

Adapun tarian yang dilarang adalah tarian yang bercampur lelaki perempuan yang bukan mahram, lebih-lebih lagi ia diadakan dalam majlis yang kemaksiatannya ketara seperti berpakaian tidak menutup aurat, diiringi dengan muzik dan suasana yang mengundang kepada syahwat dan lain-lain.

Itulah yang disebut haram. Haram bukan soal tarian, tetapi dilihat dari aspek persembahan, suasana dan dilihat dengan jelas kemaksiatan.

Adapun tarian dalam zikrullah, adalah tarian khusus yang lahir daripada rasa kesyahduan kepada Allah, dengan kelazatan munajat dan bertaladdud (berseronok kerana zikrullah).

Perasaan seronok dan lazat itu yang diketahui oleh orang yang mengetahuinya, merupakan anugerah Allah kepada mereka.

Mereka hendak menunjukkan bahasa badan (body language) mereka dengan menari-nari tanda keseronokan, tetapi dibuat kerana Allah SWT.

Inilah yang disebut di dalam Al-Quran (mafhumnya): “(Iaitu) orang-orang yang beriman dan tenang tenteram hati mereka dengan zikrullah. Ketahuilah dengan “zikrullah” itu, tenang tenteramlah hati manusia.” (Surah ar-Ra’d, ayat 28).

Ketenangan adalah suatu kenikmatan. Hendak menghargai kenikmatan itu adalah sesuatu yang boleh dita’birkan dengan isyarat, dengan kata-kata, dengan bahasa badan yang dijelmakan dalam bentuk tarian untuk menyatakan kesyukuran dan kenikmatan yang mereka perolehi hasil anugerah Allah.

Atas itulah pada pendapat saya bahawa tarian dalam majlis-majlis sufi itu adalah harus.

Untuk menyatakan haram atau tidak boleh memang mudah, tetapi harus disandarkan kepada dalil. Jika tidak ada dalil atau hujah, berbaliklah kepada hukum fekah bahawa, “Asal semua perkara adalah harus sehingga ada dalil yang membuktikannya haram.”

Oleh itu berzikrullah yang difahami dari ayat al-Quran di atas, hadis Rasulullah SAW dan pandangan ulama muktabar, maka saya menyatakan ia harus dan bukanlah haram.

Wallahu ‘alam.

HURAIAN TENTANG PERKATAAN IMAM SYAFIE

Telah berkata Imam As Syafi'e Rah.

اذا صح الحديث فهو مذهبى


Di dalam kitab Al-majmuk ada menerangkan pengertian sebenar perkataan Imam Syafie r.mh :

i. Tiadalah bermaksud bahawa seseorang yang melihat hadis sahih lantas dia berkata ini adalah mazhab Syafie dan beramal dengan zahir hadis.

ii. Tidak juga perkataan ini ditujukan kepada mereka yang tidak sampai kepada darajat ijtihad yang mana apabila menemui hadis sahih terus beramal dengannya.

iii. bahkan makna perkataan ini ditujukan kepada mereka yang sampai darajat ijtihad tetapi hendak beramal dengan hadis sahih yang ditemui ada beberapa syarat:-

a. Setelah ia(mujtahid) meneliti sekelian kitab Imam syafie dan sekelian kitab ulama mazhab Syafie

b. Kuat pada sangkaannya bahawa Imam Syafie tidak menemui hadis sahih itu.

Banyak hadis sahih yang telah sampai kepada Imam Syafie atau yang dia mengetahui tetapi dia tidak beramal dengan zahir hadis itu kerana Imam Syafie mengeluarkan hukum daripada hadis yang terlebih rajih daripadanya . Terkadang hadis itu mansukh (hadis yang dibatalkan hukum) atau ada hadis yang lain mentakhsiskan atau Imam Syafie telah mentakwil (mengambil makna yang lain selain daripada makna yang sebenar) hadis itu atau lainnya .

Ada setengah orang menyebut bahawa perkataan ini ditujukan kepada Ashab (anak murid ) Imam Syafie iaitu Imam Muzani Dan Imam Buwaiti ketika mereka mengemukakan pertanyaan ” yang mana satu hendak dipegang antara dua perkataan Imam Syafie iaitu Qaul Qadim (pendapat Imam Syafie semasa di Baghdad) atau Qaul Jadid (pendapat imam Syafie semasa di Mesir). Maka Imam Syafie memberi jawapan dengan berkata
اذا صح الحديث فهو مذهبى .

Oleh kerana itu perkataan Imam Syafie tersebut dibahaskan di dalam Muqaddimah Majmuk Imam Nawawi sebelum beliau masuk kepada tajuk
فصل كل مسئلة فيها قولان للشافعى رحمه الله قديم و جديد .

(ertinya: “Fasal bagi setiap masalah feqah ada padanya dua pendapat di sisi Imam Syafie r.h.m iaitu qaul qadim dan qaul jadid.”)

Disana juga ada terdapat masalah-masalah yang wajib di pegang atau diamalkan mengikut kaul qadim sedangkan kaedah asal kita wajib beramal dengan kaul jadid.

Peringatan:

Mazhab Shafie mempunyai ulama-ulama mujtahid tersendiri yang telah menjaga mazhab ini dengan berpandukan kaedah-kaedah Imam Syafie. Jika diandaikan bahawa Imam Syafie tidak menemui sesebuah hadis yang sahih untuk menerangkan sesuatu hukum, maka merekalah yang terlebih mampu dalam penyelidikan tersebut. Sesungguhnya telah maklum bahawa hukum-hakam dalam mazhab Syafie telahpun lengkap dengan dalil-dalil yang diutarakan di dalam kitab-kitab muktabar mereka itu.

http://www.al-bakriah.com.my

Hukum mentajhizkan mayat bayi yang keguguran dan mati kecil.



1.(dan adapun) kanak-kanak yang gugur iaitu kanak-kanak yang gugur ia pada hal belum sempurna enam bulan masa kandungannya, maka hukumnya jika tiada zahir padanya tanda hidupnya dan tiada zahir pula kejadian anak Adam, maka tiada wajib atas kita suatu daripada yang empat perkara itu. Tetapi sunat dibalut akan dia dengan kain dan ditanam akan dia.

2. (dan) jika tiada zahir padanya tanda hidupnya tetapi ada zahir padanya kejadian anak Adam, maka wajib atas kita kerjakan padanya 3 perkara yang lain daripada sembahyang dan haram disembahyangkan atasnya.

3. (dan jika ada zahir) padanya tanda hidup seperti bersuara atau bergerak-gerak kemudian daripada keluarnya dan jika kurang daripada empat bulan masa kandungannya itu sekalipun, maka iaitu seperti orang yang besar jua, maka wajib kita kerja daripadanya empat perkara yang tersebut itu.

4. (adapun) kanak-kanak yang diperanak akan dia kemudian daripada enam bulan masa kandungannya, maka wajib kita mandi akan dia dan dikapan akan dia dan sembahyangkan atasnya dan ditanam akan dia jikalau keluar ia pada hal mati dan jika tiada zahir padanya kejadian anak Adam sekalipun, jika diketahui akan dia anak Adam kerana keluar ia daripada takrif gugur.

-nukilan dari kitab Hidayatus Shibyan m.s 28 . - Tuan Husin Kedah.

Bid‘ah Mengikut Ahlul Sunnah wal Jamaah.

Oleh: Sheikh DR. Gibril Fouâd Haddâd

Tulisan ini terbahagi kepada dua bahagian:

I. Definisi Bid‘ah oleh Imam al-Shafi’e (ra).

II. Pembahagian Bid‘ah di kalangan Ahlul Sunnah wal Jamaah dan selainnya.


I. Definisi Bid‘ah Mengikut Imam Shafi’e:
Sumbangan besar Imâm al-Shâfi`î (ra) dalam ilmu Usul al-Fiqh ialah pembahagian beliau terhadap makna ‘perkara baharu’ (al-bid‘ah) dan ‘perkara baharu yang diadakan’ (al-muhdathât) iaitu samada ‘baik’ atau ‘buruk bergantung kepada samada perkara itu selari dengan Shari‘at.


Ini diriwayatkan secara Sahih dari dua muridnya yang terkenal pada zaman akhir kehidupan beliau iaitu, pakar hadith Mesir, Harmala ibn Yahyâ al-Tujaybî dan al-Rabî` ibn Sulaymân al-Murâdî
:

Harmala menyebut, “Aku mendengar Imam al-Shâfi’e (r.a) berkata:

“Bid‘ah itu dua jenis (al-bid‘atu bid`atân)”.

“Bid‘ah yang dipuji (bid‘ah mahmûdah) dan bid‘ah yang dikeji (bid‘ah mazmûmah).
Apa yang selari dengan Sunnah itu dipuji (mahmûdah) dan apa yang bertentangan itu dikeji (mazmûmah).”1

Beliau menggunakan dalil dari kenyataan Saidina ‘Umar ibn al-Khattâb (r.a) kepada jemaah yang mengerjakan Sembahyang Terawih di bulan Ramadân dengan katanya:

“Alangkah cantiknya bid‘ah ini!”.

Al-Rabî` juga meriwayatkan kenyataan yang sama bahawa Imam Al-Shâfi`î berkata kepada kami:
‘Perkara baharu yang diada-adakan itu dua jenis (al-muh dathâtu min al-umûri darbâin):
Pertama, perkara baharu yang bercanggah dengan al-Qur’an atau Sunnah atau athar Sahabat atau ijmâ’ para ulama’, maka bid‘ah itu adalah sesat (fa hâdhihi al bid‘atu dalâlah).

Kedua, ialah perkara baharu yang diadakan dari segala kebaikan (mâ uhditha min al-khayr) yang tidak bertentangan dengan mana- mana pun di atas, dan ini bukan bid‘ah yang dikeji (wa hâdhihi muhdathatun ghayru madhmûmah).

`Umar (r.a) berkata terhadap sembahyang Terawih berjemaah di bulan Ramadhan:“Alangkah cantiknya bid‘ah ini!” bermaksud bahawa ‘perkara baharu’ yang
diada adakan yang belum ada sebelum ini, tetapi ianya tidak bercanggah dengan perkara
diatas (Al-Qur’an, Sunnah, athar Sahabat dan Ijma’).'”2

Oleh itu, Imam al-Shâfie telah meletakkan suatu kriteria asas, yang perlu digunakan dalam menjatuhkan hukum terhadap sesuatu ‘perkara baharu’. Sehubungan dengan itu Imâm al-Haytamî, Qâdî Abû Bakr Ibn al-`Arabî, dan Imâm al-Lacknawî seterusnya menyambung:

“Bid‘ah dari segi Shari‘atnya ialah apa jua perkara baharu yang diadakan yang bertentangan dengan hukum yang diturunkan Allah, samada berdasarkan dalil-dalil yang nyata atau pun dalil-dalil umum”. 3

“Hanya Bid‘ah yang menyalahi Sunnah sahaja yang dikeji”.4

“Bid‘ah ialah semua perkara yang tidak wujud dalam tiga kurun pertama Islam dan di mana ianya tidak mempunyai asas bersumberkan empat sumber hukum Islam”.5
Kesimpulannya, ianya tidak memadai bagi sesuatu perkara itu dikira ‘bid‘ah’ [dan sesat] hanya semata-mata kerana ianya ‘perkara baharu’; tetapi ianya perlulah juga dimasa yang sama bertentangan dengan Islam.

Al-Bayhaqî mengulas kenyataan al-Rabî :
"Begitu juga dalam hal perdebatan aqidah (kalâm) dengan pereka bid‘ah, apabila mereka ini mula mendedahkan perbuatan bid‘ah (penterjemahan ) dalam aqidah mereka kepada masyarakat awam. Walaupun kaedah kalam merupakan ‘perkara baharu’ namun ianya dipuji (mahmudah) kerana ianya bertujuan untuk mendedahkan kepalsuan pereka bid‘ah itu, seperti mana yang kita sebutkan sebelum ini.

Rasulullah dan begitu juga para Sahabat ditanya soalan berhubung dengan Qada’ dan Qadar, yang jawapannya sepertimana telah sampai kepada kita hari ini. Namun pada masa itu, para Sahabat sudah berpuas hati dengan jawapan yang diberikan oleh Rasulullah . Namun sebaliknya di zaman kita ini pereka bid‘ah tidak lagi berpuas hati dengan jawapan yang sampai kepada kita (daripada Rasulullah dan para Sahabat), dan mereka tidak lagi menerimanya. Oleh itu bagi menangkis serangan mereka, yang mereka sebarkan kepada umum, perlu bagi kita berhujah menggunakan kaedah pembuktian yang diterimapakai oleh mereka sendiri. Dan sesungguhnya kejayaan itu datangnya dari Allâh jua".6


Ini merupakan pembelaan Imâm al-Bayhaqî secara terang-terang terhadap keperluan kalâm dan sifatnya yang selari dengan tuntutan Sunnah demi mempertahankan [Islam] dari pereka bid‘ah. Pendirian yang hampir sama juga boleh dilihat dikalangan para Imam besar seperti Ibn `Asâkir, Ibn al-Salâh, al-Nawawî, Ibn al-Subkî, Ibn `Abidîn dan lain-lain.




II. Pembahagian Bid‘ah di kalangan ‘ulama’ Ahlul Sunnah wal Jamaah dan selainnya:


(a) Definisi Imam al-Ghazâlî.

Hujjatul Islâm Imam al-Ghazâlî ketika mengulas perbahasan berhubung dengan penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an dengan katanya:
Hakikat bahawa ianya perkara baharu yang diadakan (muhdath) tidak menghalang ini semua. Berapa banyak perkara baharu yang diadakan tetapi ianya baik!, seperti mana sembahyang Terawih secara berjemaah. Ianya adalah antara bid‘ah Saidina`Umar (ra) tetapi ianya adalah bid'ah yang baik (bid‘ah hasana). Bid‘ah yang keji ialah yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah atau yang boleh membawa kepada perubahan Sunnah itu. 7


(b) Definisi Qâdî Abû Bakr ibn al-‘Arabî al-Mâlikî.

Qâdî Abû Bakr Ibn al-`Arabî ketika mengulas berhubung dengan bid‘ah berkata:

Ketahuilah! – Moga Allah menganugerahkan kamu ilmu! – bahawa bid‘ah itu ada dua jenis (al-muhdathâtu darbân):

(i) Perkara baharu yang diadakan yang tiada asas [agama] melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati. Ini ada jenis yang salah, dan
(ii) Perkara baharu yang diadakan selari dengan apa yang sudah disepakati. Seperti Sunnah para Khulafâ’ dan para Imam-imam besar. Perkara baharu yang diadakan dan bid‘ah bukanlah keji kerana ianya ‘baharu’ (muhdath) [baharu yang tiada sebelum ini] atau semata-mata dipanggil ‘bid‘ah’, dan tidak juga kerana maknanya! Allâh Yang Maha Agung berfirman:

“Tidak datang kepada mereka peringatan yang baharu (muhdath) dari Tuhan mereka” (21:2) dan Saidina `Umar (ra) berkata: “Alangkah cantiknya bid‘ah ini!”

Sebaliknya, bid‘ah yang bertentangan dengan Sunnah itu yang dikeji atau perkara baharu yang diadakan yang membawa kepada kesesatan itu yang dicela. 8


(c) Definisi Ibn Hazm al-Zahiri

Ibn Hazm al-Zâhirî berkata:
Bid‘ah dalam al-Din ialah apa jua yang datang kepada kita yang tiada disebutkan didalam al-Qur'ân dan Hadith Rasulullâh , melainkan seseorang itu diberi ganjaran pada sebahagiannya, dan mereka yang melakukannya dimaafkan jika mereka berniat baik. Di antaranya adalah yang diberi ganjaran dan dikira baik (h asan), apa yang pada asalnya diharuskan (“mâ kâna asluhu al-ibâha”) sepertimana yang diriwayatkan oleh Saidina`Umar (ra): “Alangkah baiknya bid‘ah ini!”Ia jelas merujuk kepada semua amalan kebaikan yang dinyatakan oleh nass (al-Qur’an dan Hadith) secara umum akan galakan melakukannya, walaupun amalan berkenaan itu tidak disebutkan dalam nass secara khusus. Di antaranya juga ada yang dikeji dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya. 9


(d) Definisi Ibn al-Jawzi.

Ibn al-Jawzî menyatakan perkara yang sama dalam kitabnya Talbîs Iblîs:
“Ada sesetengah perkara baharu (muhdathât) diamalkan yang tidak berlawanan dengan Shari‘at atau menyalahinya, mereka [para Salaf] melihat ianya tidak mengapa untuk diamalkan, seperti tindakan Saidina Umar mengumpulkan orang bagi mendirikan sembahyang Terawih di bulan Ramad.ân, kemudian itu beliau berkata: `Alangkah baiknya Bid ‘ah ini!'”

(e) Definisi Ibn al-Athîr al-Jazarî.

Pakar perkamusan Ibn al-Athîr menyebut di dalam kitabnya, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hâdîth wal-Athar menyebut:
"Bid‘ah itu ada dua jenis: bid‘ah yang berpetunjuk (bid‘atu hudâ) dan bid‘ah yang sesat (bid`atu dalâlah). Apa jua yang menyalahi perintah Allâh dan RasulNya : itu termasuk dalam perkara yang dikutuk dan dipersalahkan. Dan apa jua yang masuk dalam keumuman Allâh atau RasulNya perintahkan atau galakkan: maka itu termasuk dalam hal-ehwal yang dipuji. Apa jua yang tiada amalan sebelum ini seperti terlampau pemurah atau berbuat baik – seumpama itu termasuk dalam perlakuan dipuji. Tidak dibenarkan beranggapan perkara seumpama itu sebagai menyalahi Shari‘at kerana Rasulullah telah menyebutkan bahawa amalan sedemikian itu diberi ganjaran: “Sesiapa yang memulakan sesuatu amalan kebaikan dalam Islâm (man sanna fîl-islâmi sunnatan hasana) memperolehi ia ganjarannya dan ganjaran sekalian orang yang melakukannya”. Begitu juga sebaliknya Baginda bersabda sesiapa yang memulakan amalan jahat dalam Islâm (waman sanna fîl-islâmi sunnatan sayyi'atan) memikul dosanya dan dosa sekalian mereka yang melakukannya.”10


Begitulah apabila perlakuan itu bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allâh dan RasulNya .... Dengan maksud inilah hadîth yang menyebut “setiap yang baharu itu sesat”11
sepatutnya difahami: maksud Baginda ialah, apa jua yang
bercanggah dengan asas-asas Shari‘at dan menyalahi Sunnah.12


(f) Klasifikasi Imam al-Izz Ibn `Abdul Salâm.

Shaykhul Islâm, Sultân al-`Ulâmâ' Imâm al-`Izz Ibn `Abd al-Salâm juga berkata berhubung dengan perkara yang sama:
Di sana ada beberapa jenis perkara baharu (bid‘ah). Pertama, ialah yang apa yang tidak dilakukan di awal kedatangan Islam namun Shari‘at nyatakannya sebagai terpuji atau wajib. Yang kedua lagi ialah yang tidak dilaksanakan di awal Islam namun Shari‘at mengharamkannya dan dibenci. Yang ketiga ialah perkara yang tidak dilakukan di awal Islam dan Shari‘at mengharuskan.13
Di tempat lain beliau menyebut bahawa Bid‘ah itu ada lima jenis, sama sepertimana
yang diputuskan para fuqaha dalam amalan perbuatan seeorang, iaitu: Wâjib,Harâm, Sunat (mandûb), Makrûh, dan Harus (mubâh).14


(g) Sokongan Imam Nawawî terhadap Klasifikasi Imam al-Izz , Sheikhul-Islâm, Imâm al-Nawawî menyebut:
Bid‘ah mengikut Shari‘at ialah mereka sesuatu yang tidak pernah wujud di zaman Rasulullah dan ianya dibahagikan kepada “baik” dan buruk” (wahya munqasimatun ilâ hasanah wa qabîh ah).
Sheikh, dan Imâm sekalian ilmu-ilmu Islam yang pelbagai yang disepakati kehebatannya iaitu, Abû Muhammad `Abdul-`Azîz ibn `Abdul Salâm – Moga-moga llâh mengasihaninya! – menyebut di akhir buku beliau, al-Qawâ`id [al-Kubrâ]:
“Bid‘ah itu terbahagi kepada perkara-perkara wajib (wâjibat), Haram(muharramat), Sunat (mandûbat), Makruh (makrûhat), dan Harus (mubâhat).
Jalan untuk menilai sesuatu Bid‘ah itu ialah dengan melihat berpandukan kaedah Shari’at (qawâ‘id al-sharî‘ah).

Jika ianya jatuh dalam kategori kewajiban (îjâb) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram; jika digalakkan maka jadilah ia Sunat, dikeji maka jadilah ia Makruh dan seterusnya yang selainnya ialah Harus.15


(h) Sokongan al-Hafiz Ibn Hajar al-As-Qoolany terhadap Imam al-Izz.

Hâfiz Ibn Hajar berkata:
Akar kata perkataan ‘bid‘ah’ itu ialah sesuatu yang direka tanpa ada duluannya sebelum ini. Ianya digunakan dalam Shari‘at sebagai lawan kepada Sunnah, dan oleh itu dikeji. Jika diteliti, sekiranya ianya termasuk dalam apa yang digalakkan oleh Shari‘at, maka ia termasuk dalam bid‘ah baik (bid‘ah hasanah), dan jika ia termasuk dalam perkara yang dikeji maka ianya adalah bid‘ah buruk (mustaqbahah). Selain daripada itu ianya diharuskan (mubâh). Ianya juga boleh dibahagikan kepada lima kategori.16

(i) Ittifaq ‘Ulama’ berhubung Klasifikasi Imam al-Izz.
Para ulama’ dalam empat Mazhab bersetuju dengan klasifikasi lima hukum bagi Bid‘ah yang dibuat oleh Imam al-Izz sepertimana yang telah disebutkan di atas, dengan turut dipersetujui oleh majoriti besar para ‘ulama’ terkemudian setiap Mazhab seperti berikut:

(1) Di kalangan ‘ulama Mazhab Hanafî: al-Kirmânî, Ibn `âbidîn, al-Turkmânî, al-`Aynî, dan al-Tahânawî.17

(2) Di kalangan ‘ulama Mazhab Mâlikî: al-Turtûshî, Ibn al-Hâjj, al-Qarâfî, dan al-Zurqânî, kecuali al-Shâtibî yang cuba menafikannya dengan mendakwa klasifikasi Imam al-Izz itu sebagai “bid‘ah tanpa ada dalil dalam Shari ‘at”!.18
I`tisâm Imam al-Shâtibî' telah diedarkan semula oleh dua tokoh Wahabi: Rashîd Ridhâ dan kemudiannya Salîm Hilâlî. Wahhâbî yang ketiga ialah Muhammad `Abdul Salâm Khadir al-
Shuqayrî – iaitu anak murid kepada Rashid Rida. Al-Shuqayrî adalah pengarang al-Sunan wal-Mubtada`ât al-Muta`alliqah bil-Adhkâr wal-Salawât yang beliau penuhi dengan pelbagai cerita-cerita dongeng yang tidak dapat disahkan, yang kemudiannya beliau mengecamnya

(3) Sepakat (ijma’) di kalangan sekalian ulama’ Mazhab Shâfi`î.19
(4) Keenganan menerimanya di kalangan ulama Mazhab Hanbalî yang terkemudian, dengan mengubah istilah Imam al-Shâfi`î dan Imam al-Izz ibn `Abdul-Salâm dengan masing-masing membawa maksud “bid‘ah dari segi bahasa” (bid‘ah lughawiyya) dan “bid ‘ah dari segi syarak” (bid‘ah shar`iyyah). Walaupun ini tidak tepat, mereka cuba memadankan apa yang Imam al-Shâfi`î' sebutkan sebagai “dibenarkan” dan “dikeji”.20

Inilah pendekatan yang sering dibawa oleh golongan Wahabi dengan memecah-mecahkan sesuatu isu sepertimana berlaku dalam isu bid‘ah ini, walaupun sepatutnya pendekatan sebenar ialah berpandukan klasifikasi yang telah dibuat oleh majoriti ulama’ (jumhûr).

Shaykh Muhammad Bakhît al-Mutî`î menyimpulkan:


“Bid ‘ah dari segi Syarak ialah yang sesat dan dicela; adapun bid‘ah yang para ‘ulama membahagikan kepada kepada Wajib dan Haram dan seterusnya itu, adalah Bid’ah dari segi bahasa, yang lebih luas dari Bid’ah dari Syarak kerana Syarak itu juga sebahagian darinya.”21


Al-Shawkânî merumuskan di dalam Nayl al-Awtâr iaitu asas kepada pembahagian bid‘ah adalah “baik” dan “buruk”, dan inilah pandangan yang paling kukuh dan kuat sekali.22

Memadailah apabila majoriti Imam Mujtahid dari kalangan Salaf menyatakan sedemikian berdasarkan dalil-dalil al-Qur'ân and Sunnah, walau apapun yang dikatakan oleh ulama’ terkemudian – samada oleh ‘ulama bakal murajjih’ seperti al- Shawkânî atau ‘ulama bakal penyunting’ seperti al-Shâtibî.

Kerana pendirian ini telah disepakati (ijma’) di kalangan para ulama’ Mazhab al-Shâfi`î dan juga selari dengan pesanan Rasulullah s.a.w agar kita mengikuti jalan para Mu’min dan mengikut pendapat [ulama’] ramai.

"Bukanlah seorang Imâm dalam `Ilmu apabila mengikut pandangan yang ganjil/terpencil (shâdhdh)".

- (`Abdul-Rahmân ibn Mahdî).

Dan Allah jua Yang Maha Mengetahui








Komentar Penterjemah.

Jelas sekali berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan di atas membuktikan bahawa para ulama’ di kalangan empat Mazhab Ahlul Sunnah wal Jamaah, secara majoritinya,(manakala ijma’ di kalangan ulama Mazhab Shafi’e) telah menerima pembahagian bahawa di sana ada dua bentuk bid‘ah, iaitu yang ‘baik’(hasanah) dan yang ‘buruk’ (sayyi’ah/dalalah). Ini sekaligus menolak pandangan ganjil dan keseorangan (shadhdh) Imam al-Shatibi dalam I’tisomnya, yang menentang pembahagian bid’ah sedemikian, dan juga pandangan mereka yang bersamanya yang mendakwa semua ‘perkara baharu’ itu bid‘ah sesat (bid‘ah dalalah/sayyi‘ah) belaka.

• Adapun mereka yang mengemukakan hujah-hujah para Imam Mazhab dan imam imam besar lain yang kononnya menolak dan menentang amalan yang dikatakan “bid‘ah”, penolakan para Imam itu sebenarnya adalah terhadap bid‘ah dalalah, iaitu bid‘ah yang bertentangan dengan Shari‘at, kerana para imam-imam ini dalam masa yang sama di tempat yang lain jelas sekali mengakui dan menerima wujudnya dua kategori bid‘ah: baik dan buruk.

• Dakwaan bahawa kalimah “bid‘ah” yang diungkapkan oleh Saidina Umar r.a hanya bermaksud ‘bid‘ah dari segi bahasa’, dan justeru itu sekalian para ulama telah tersilap faham merupakan suatu tanggapan memperlekehkan keilmuan dan kepakaran bahasa para ulama’ besar seperti Imam Shafi’e, Imam al-Ghazali, Imam al-Izz dan lain-lain, seolah-olah mereka ini jahil tidak tahu membezakan antara ‘bid ‘ah dari segi bahasa’ dan ‘bid‘ah dari segi syarak’. Imam Mazhab, Mujtahid Mutlaq, Hujjatul Islam, Sheikhul Islam dan Sultan al-‘Ulama’ adalah antara gelaran-gelaran yang diberikan terhadap para ulama ini sudah cukup menggambarkan kehebatan keilmuan dan kewibawaan mereka.

• Perlu kita akui bahawa para ulama’ silam teramat mengerti dan arif apa yang dimaksudkan oleh Saidina Umar r.a. dengan ungkapan kalimah “bid‘ah” itu . Mereka juga tahu dan amat mengerti bahawa Rasulullah s.a.w. sendiri pernah melakukan Solat Terawih secara berjemaah untuk dua malam pertama di bulan Ramadhan sepertimana Hadith Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Namun mereka tetap menggunakan hujah perlakuan Saidina Umar itu untuk mengatakan bahawa di sana ada bid‘ah hasanah dan bid‘ah dalalah. Adalah sesuatu yang ganjil tiba-tiba ada ‘ulama mutaakhir termasuk ulama’ kurun ke-20 ini mula mempertikaikan dan menolak hujah para ulama besar seperti Imam Shafi’e, Imam Ghazali dan lain-lain yang telah menggunakan kata-kata Saidina Umar itu tadi sebagai dalil mereka.

• Setiap amalan dalam masyarakat kita perlu dinilai dan diteliti dengan cermat berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada ketikanya amalan mereka itu merupakan bid‘ah hasanah, ada juga ketikanya bid‘ah dalalah dan khurafat yang mesti ditentang, dan ada juga ianya merupakan persoalan khilafiyyah (perbezaan pendapat di kalangan ‘ulama’). Adalah terlalu cetek pemikiran melabelkan semua perlakuan yang tiada nass khusus mengenainya, di dalam satu bakul yang sama sebagai bid ‘ah dalalah atau sayyiah.

*Dan Allah jua Yang Maha Mengetahui*
_______________________________________________________________________

1. Diriwayatkan dari Harmala oleh Abû Nu`aym dengan sanad dari Abû Bakr al-Al- jurrî dalam Hilyat al-Awliyâ' (9:121 #13315=1985 edisi. 9:113) dan dinukilkan oleh Abû Shâma dalam al-Bâ`ith `alâ Inkâr al-Bida` wal-Hawâdith (edisi Riyadh 1990, hal. 93), Ibn Rajab dalam Jâmi` al-`Ulûm wal-Hikam (hal. 267= edisi Zuhaylî. 2:52= edisi Arna'ût, 2:131=sahîh), Ibn Hajar dalam Fath al-Bârî (edisi 1959, 13:253), al-Turtûshî dalam al-Hawâdith wa al-Bida` (hal. 158-159), dan al-Shawkânî, al-Qawl al-Mufîd fî Adillat al-Ijtihâd wa al-Taqlîd (edisi 1347/1929 hal. 36).

Riwayat dari Saidina `Umar disebut oleh Imam Mâlik dalam al-Muwat a' dan al-Bukhârî dalam Sahîh Bukhari.
2. Diriwayatkan dari al-Rabî` oleh al-Bayhaqî di dalam Madkhal dan Manâqib al-Shâfi`î beliau (1:469) dengan sanad sahih sepertimana yang disahkan oleh Ibn Taymiyyah dalam Dâr' Ta`ârud al-`Aql wa al-Naql (hal. 171) dan melalui al-Bayhaqî oleh Ibn `Asâkir dalam Tabyîn Kadhib al-Muftarî (edisi Kawtharî, hal. 97). Dinukilkan oleh al-Dhahabî dalam Siyar (8:408), Ibn Rajab dalam Jâmi` al-`Ulûm wal-Hikam (p. 267= edisi Zuhaylî. 2:52-53=edisi Arna'ût. 2:131 sahîh), dan oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bârî (1959 ed. 13:253).

3. Al-Haytamî, al-Tabyîn fî Sharh al-Arba`în (hal. 32)
4. Ibn al-`Arabî, `âridat al-Ahwadhî (10:147)
5. Cf. al-Lacknawî, Iqâmat al-Hujjah (hal. 12)
6. Al-Bayhaqî, Manâqib al-Shâfi`î (1:469)
7. Al-Ghazzâlî, Ihyâ' `Ulûm al-Dîn (1:276)
8. Ibn al-`Arabî, `A rid at al-Ahwadhî (10:146-147)

9. Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm (1:47)

10.Diriwayatkan dari Jarîr ibn `Abd Allâh al-Bajalî oleh Imam Muslim, al-Tirmidhî, al-Nasâ'î, Ibn Mâjah,Ahmad, dan al-Dârimî. Juga diriwayatkan dengan kalimah yang hampir sama dari Abû Hurayrah oleh Ibn Mâjah and Ahmad; dari Abû Juhayfah oleh Ibn Mâjah; dan dari Hudhayfah oleh Imam Ahmad.

11. Diriwayatkan dari al-`Irbâd. ibn Sâriyah oleh al-Tirmidhî (hasan sahih), Abû Dâwûd, Ibn Mâjah, Ah}mad, al-Dârimî, Ibn Hibbân (1:178-179 #5 sahîh.), al-Hâkim (1:95-97= edisi 1990 1:174-177) – menyatakan ianya sahih, sementara al-Dhahabî mengesahkannya – dan di dalam al-Madkhal ilâ al-Sahîh. (hal. 80-81), al-âjurrî dalam al-Sharî`ah (hal. 54-55#79-82= hal. 46 sahîh), Ibn Abî `âsim di dalam al-Sunnah (hal. 29 #54 sahih.), al-Tahâwî di dalam Mushkil al-âthâr (2:69=3:221-224 #1185-1187 sahih), Muhammad ibn Nasr al-Marwazî di dalam al-Sunnah (hal. 26-27 #69-72 sahîh.), al-Hârith ibn Abî Usâma dalam Musnadnya (1:197-198), al-Rûyânî dalam Musnadnya (1:439), Abû Nu`aym dalam Hilyat al-Awliyâ' (1985 ed. 5:220-221, 10:115), al-Tabarânî dalam Musnad al-Shâmiyyîn (1:254, 1:402, 1:446, 2:197, 2:298) dan al-Kabîr (18:245-257), al-Bayhaqî dalam al-Sunan al-Kubrâ (10:114), al-Madkhal (hal. 115-116), al-I`tiqâd (hal. 229), dan Shu`ab al-‘mân (6:67), al-Baghawî yang mengesahkan ianya hasan dalam Sharh al-Sunnah (1:205 #102 isnâd sahih), Ibn al-Athîr dalam Jâmi` al-Usûl (1:187, 1:279), Ibn `Asâkir dalam al-Arba`în al-Buldâniyyah (hal. 121), Ibn`Abd al-Barr dalam al-Tamhîd (21:278-279) dan Jâmi` Bayân al-`Ilm (2:924 #1758) di mana beliau mengesahkan ianya sahih, dan lain-lain.

12. Ibn al-Athîr, al-Nihâya (1:79 ‘b-d-`).

13. Ibn `Abd al-Salâm, al-Fatâwâ al-Mawsiliyyah (hal. 129).

14. Ibn `Abd al-Salâm, al-Qawâ`id al-Kubrâ (2:337-339) cf. al-Nawawî dalam al-Adhkâr (cetakan Thaqâfiyyah. hal. 237) dan Tahdhîb al-Asma' wal-Lughât (3:20-22), al-Shâtibî dalam al-I`tisâm (Beirut, 1:188), al-Kirmânî in al-Kawâkib al-Darârî (9:54), Ibn Hajar dalam Fath. al-Bârî (13:253-254), al-Suyûtî, mukaddimah beliau pada Husn al-Maqsid dalam al-Hâwî lil-Fatâwâ; al-Haytamî, Fatâwâ Hadîthiyya (hal. 150), Ibn `âbidîn,n - Radd al-Muhtâr (1:376) dan lain-lain.

15 . Al-Nawawî, Tahdhîb al-Asmâ' wal-Lughât (3:20-22).
16. Ibn Hajar, Fath. al-Bârî (cetakan 1959 5:156-157= cetakan 1989 4:318).

17. Al-Kirmânî, al-Kawâkib al-Darârî Sharh Sahîh al-Bukhârî (9:54), Ibn `âbidîn, H âshiya (1:376, 1:560); al-Turkmânî, al-Luma` fîl-Hawâdith wal-Bida` (Stuttgart, 1986, 1:37); al-Tahânawî, Kashshâf Istilâh.at al-Funûn (Beirut, 1966, 1:133-135); al-`Aynî, `Umdat al-Qârî dalam al-Himyarî, al-Bid`at al-Hasanah (hal.152-153).

18. Al-Turtûshî, Kitâb al-Hawâdith wa al-Bida` (hal. 15, hal. 158-159); Ibn al-Hajj, Madkhal al-Shar` al-Sharîf (Cairo, 1336/1918 2:115); al-Qarâfî, al-Furûq (4:219) cf. al-Shâtibî, al-I`tis âm (1:188-191); al-Zurqânî, Sharh al-Muwat a' (1:238).

19. Abû Shâma, al-Bâ`ith `alâ Inkâr al-Bida` wa al-Hawâdith (Riyad: Dâr al-Raya, 1990, hal. 93, cetakan Cairo hal. 12-13) dan juga apa yang ditelah disebut sebelum ini. Perhatian: “ijmâ` adalah lebih menyeluruh dari “ittifâq” dan ianya mengikat dari segi hukum

20. Ibn Rajab, al-Jâmi` fîl-`Ulûm wal-Hikam (2:50-53), dan Ibn Taymiyyah memperkatakan tentang bid`ah dalam kitab beliau Iqtidâ' al-Sirât. al-Mustaqîm Mukhâlafat Ashâb al-Jah îm. Ini juga merupakan pendirian Ibn Kathîr, lihat tafsiran beliau pada ayat 117 Surah al-Imran, dalam Tafsîrnya. Beliau sependirian dengan gurunya, Ibn Taimiyyah.
21. Bakhît, Fatâwâ Hadîthiyyah (hal. 205).

22. Al-Shawkânî, Nayl al-Awtâr (4:60).

Wednesday, January 5, 2011

Taman Syurga di Dunia

“Apabila kamu melalui Taman Syurga, maka ikutlah atau masuklah kamu padanya. Bertanya salah seorang sahabat: Apakah Taman Syurga itu, ya Rasulullah? Sabda Rasul: Yaitu Halqah-halqah dzikir (lingkaran orang berzikir)”. (HR. Imam Tarmizi).


Rasulullah SAW menggambarkan lingkaran (halaqah) orang berzikir sebagai Taman Syurga yang sangat indah, penuh ketenangan dan kedamaian , mengalir segala rahmat dan kurnia Allah SWT. Kenapa lingkaran orang berzikir di ibaratkan sebagai Taman Syurga? Kerana disaat mata terpejam, kepala pun tertunduk untuk merendahkan diri dengan serendah-rendahnya kepada Allah SWT yang Maha Agung lagi Maha Perkasa, lidah terasa kelu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hanya hati yang terus bergetar, dimulai dengan ucapan astaghfirullah sebagai wujud permohonan ampun kepada Allah SWT atas dosa-dosa yang kita lakukan baik yang kita sedari maupun yang tidak kita sedari, barulah kemudian hati kita bergetar berzikir ALLAH, ALLAH. Seluruh anggota badan ikut merasakan getaran dahsyat dari keagungan Kalimah Allah.


Keindahan zikir dalam lingkaran dibawah bimbingan ‘Waliyyammursyida’ tidak mampu digambarkan dengan kata-kata, zikir yang selalu dinaungi oleh Nur Allah beserta segenap Para malaikat-Nya sebagaimana dalam sebuah hadith :


Apabila duduk suatu kaum mengucapkan dzikir ALLAH, maka melingkungi akan mereka malaikat-malaikat dan meliputi akan mereka Rahmat dan turut atas mereka SAKINAH (ketenangan jiwa) dan ALLAH menyebut mereka pada sisi-Nya”. (HR. Imam Muslim)


Zikir yang senantiasa dikelilingi oleh para Malaikat ini lah selalu dirasakan oleh orang-orang yang intensif berzikir selama 10 hari dalam iktikaf dan suluk dan tentu akan menghasilkan jiwa yang tenang, jiwa yang kelak bila saatnya telah tiba akan dipanggil kembali oleh Allah SWT untuk kembali kepada-Nya.


Marilah kita semua untuk selalu memperbanyak zikir kepada Allah SWT, karena sesungguhnya zikir itu adalah perintah Allah SWT sebagai firman-Nya :


Dan ingatlah Tuhan mu sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah di waktu petang-petang dan pagi-pagi (Q.S. Al-Ahzab, 41-42).


Barang siapa yang tidak mengingat AKU, dia akan mendapat kehidupan yang sulit dan di akhirat akan dikumpulkan sebagai orang buta” (Q.S. Thaha, 124)


Siksaanlah bagi orang yang engkar hatinya mengingat ALLAH, orang-orang itu dalam kesesatan yang nyata” (Q.S. Azzumar, 22)


Zikir bukan sahaja dapat menghilangkan penyakit hati akan tetapi juga mampu menyembuhkan penyakit-penyakit zahir yang kadang tidak mampu ditangani oleh doktor seperti penyakit AIDS/HIV, Kanser ganas, Leukimia, bahkan juga sebagai terapi untuk menyembuhkan penyakit mental dan orang yang ketagihan dadah.


Allah SWT telah memberikan jaminan kepada orang-orang yang selalu mengamalkan zikir untuk terlepas dari berbagai malapetaka dan bencana sebagaimana tersebut dalam sebuah hadith:

Tidak memberi mudharat apa-apa yang dibumi dan tidak pula di dilangit bagi orang yang beserta dengan nama-Nya” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).


Bahkan Allah SWT juga memberikan jaminan kepada manusia bahawa dunia tidak kiamat selagi masih ada orang yang berzikir menyebut nama-Nya sebagai mana tersebut dalam hadith berikut :

Tiada akan datang Kiamat, kecuali kalau dimuka bumi tidak ada lagi yang menyebut (berzikir) Allah, Allah, Allah” (HR. Muslim)


Disaat seorang hamba berzikir didalam lingkaran (Taman Syurga), bertawajuh dibawah pimpinan seorang Guru Mursyid yang dalam dadanya telah tersalur Nur Ilahi, seluruh badan digetarkan oleh gelombang Zikir Kalimah Allah yang maha dasyat yang dapat memusnahkan segala jenis penyakit dan mengembalikan fungsi tubuh secara zahir dan mententeramkan hati.


Namun begitu, zikir yang bisa menyelesaikan semua masalah hidup bukanlah zikir sekadar ucapan lidah, akan tetapi zikir yang mengandungi rasa takut dan harap yang sebenar2 jujur kehadrat Allah SWT. Maka zikir yang dilantunkan oleh lidah selari dengan zikir yang dibenamkan ke hati sanubari.Maka barulah ketenangan sepertimana yang Allah janjikan akan menyelimuti hati kita oleh kerana benarnya lisan kita berzikir, selari dgn batin kita. Sepertimana lidah yang tidak mampu berbohong atas kelazatan sesuatu hidangan,bila hati merasakan sedap, maka lidah mengakuinya


Itulah sebabnya kenapa lingkaran zikir digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai Taman Syurga, karena sesungguhnya Syurga itu berada disisi Allah SWT, maka disaat berzikir rohani kita pada hakikatnya telah berada disisi Allah SWT, rohani kita berada di Taman Syurga-Nya yang sangat indah dan damai. Sering-seringlah kita singgah di Taman Syurga semasa kita hidup didunia sebagaimana anjuran Rasulullah agar kelak di akhirat kita bisa masuk kedalam Surga

Wallahuwaliyuttaufiq


Manusia dan Syaitan

Sabda Rasulullah saw :

“Sungguh syaitan mengalir pada tubuh keturunan Adam pada aliran darahnya” (Shahih Bukhari)

Keterangan:

Demikianlah dahsyatnya kekuatan syaitan untuk mempengaruhi panca indera, menundukkan telinga manusia agar tunduk pada hawa nafsu dan dosa, menundukkan penglihatan manusia agar ikut pada hawa nafsu dan dosa. Demikianlah panca indera manusia terus dimasuki oleh kekuatan syaitan sampai ke jiwanya hingga saban waktu syaitan makin berkuasa pada jiwanya, makin tertutup jiwanya dari keinginan mulia. Makin banyak sangka buruknya, makin banyak sombongnya, makin banyak menghina hamba Allah, semakin gelap keadaan itu maka semakin sempitlah terasa kehidupannya walaupun ia dalam keluasan harta, walaupun ia dalam kemudahan, walaupun ia disanjung orang. Maka ketika jiwanya merasakan kesempitan itulah ia tidak merasakan kebahagian melainkan azab. Masya Allah! Jika di dunia lagi sudah merasakan azab, bagaimana pula hal keadaan di akhirat kelak. Na’udzu billah!

Diriwayatkan pula didalam Shahih Muslim, ketika Sayyidatuna Aisyah rha diberitahu oleh Nabi “Telah datang kepadamu syaitanmu”, maka berkata Sayyidatuna Aisyah ra “ya Rasulullah apakah di dalam diriku ini ada syaitan?”,“ya betul, di hatimu dan di dirimu itu ada syaitan”. Apakah di setiap manusia juga ada syaitannya? Rasul Saw menjawab “ya benar pada setiap manusia itu ada syaitan penggodanya”, lalu bagaimana dengan engkau ya Rasulullah?. Dan Rasul Saw menjawab ” Ya! pada diriku pun ada syaitannya, tapi Allah Swt sudah menundukkannya sampai syaitan itu pun menyerah”.

Demikian riwayat shahih muslim memperjelaskan lagi hadits riwayat Shahih Bukhari di atas bahawa syaitan itu mengalir di setiap aliran darah keturunan Adam.

Begitulah ‘akrabnya’ hubungan syaitan dengan diri manusia. Dicerobohi hati-hati keturunan Adam ini lalu menghembuskan nafas-nafas kesesatan pada hati manusia. Sehinggalah akhirnya hati itu tunduk dibawah kekuasaan syaitan. Apabila hati telah dikuasai, menguasai anggota lainnya adalah suatu yang mudah. Kerana hati ini adalah semacam jentera penggerak kepada anggota lainya, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari, Sabda Nabi SAW: “Di dalam tubuh manusia itu terdapat segumpal daging. Ketika gumpalan daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya, jika gumpalan daging itu buruk maka buruklah seluruh tubuhnya, ketahuilah gumpalan daging itu adalah hati”.

Berdasarkan hadith ini, syaitan mampu keluar masuk dan menyelinap ke dalam hati sanubari kita tanpa sempadan. Bahkan tidak mampu dikesan (Mungkin Uncle Seekers blh mengesan dengan kameranya -(”,)- ). Semacam kita dan syaitan tidak boleh dipisahkan. Sebab itu, sebaik manapun seseorang itu, tetap tidak mampu lari daripada khaatir (lintasan hati) yg mendorong supaya memberontak mengingkari perintah Tuhan. Malahan berapa banyak kisah-kisah mereka yang pada awalnya sangat tekun menunaikan ketaatan akhirnya tersungkur rebah dilembah kemaksiatan. Adapun kisah-kisah mereka yang dilaknat Tuhan kerana menjadi pengikut syaitan teramat banyak dan terkadang berlaku didepan mata.

Namun demikian, Allah SWT memuliakan kita didalam kehidupan ini dengan mengutuskan Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk kebenaran. Bagi yang menuruti petunjuk itu, runtuhlah kekuatan syaitan ke atasnya. Maka yakinlah! Syaitan sebenarnya tidak berkemampuan untuk meruntuhkan iman manusia.

Sebesar manapun kekuatan syaitan, kekuatan Allah lebih besar menolong hamba - hambaNya. Jika Syaitan mampu menjebak manusia kepada dosa dan kemaksiatan sejauh-jauhnya, dalam sekejap saja Allah dapat hapuskan dosanya jika ia banyak bertaubat. Puluhan tahun hamba-Nya berbuat dosa dan kesalahan ternyata ia menebusnya dengan air mata taubatnya maka berguguranlah seluruh dosanya. Selawat dan salam kepada Junjungan Mulia, Nabi Muhammad SAW yang melalui baginda, Allah menyediakan senjata bagi umat manusia dengan sabdaannya: ” Setiap keturunan Adam itu tidak lepas dari melakukan kesalahan (maksiat), dan kesalahan itu (penyelesaiannya) adalah dengan BERTAUBAT”.

Oleh yang demikian, jika cerita-cerita mereka yang tewas kepada bujukan syaitan banyak kita dengar, jangan pula ketinggalan untuk menghayati kisah mereka yang kembali kepangkuan Tuhan. Bahkan terdapat dikalangan mereka yang diangkat darjat mereka oleh Allah SWT. Antara kisah yang masyhur ialah kisah Fudhail bin Iyadh yg dahulunya seorang perompak. Kisah Hassan Al Basri yang dahulunya seorang pemuda yang gemar berfoya-foya. Malah cerita-cerita mereka yang insaf yang hidup dizaman kita ini juga wajar dijadikan pedoman.

Demikianlah apabila jiwa bercahaya dengan cahaya Allah SWT. dan untuk memperolehi jiwa yang bercahaya itu hendaklah sentiasa melazimi diri menghadiri di majlis-majlis dzikir, di majlis-majlis ilmu dan taklim atau dimana-mana tempat yang jiwa akan bercahaya dengan keagungan Nama Allah Swt maka disaat itulah terang-benderang sanubarinya, terang-benderang ruhnya dan akan terang-benderang seluruh pancainderanya dengan cahaya Allah, maka disaat itulah jiwanya berat untuk berbuat maksiat, berat untuk sangka buruk, berat untuk berbuat hal-hal yang hina diikuti seluruh pancainderanya yang juga merasa enggan berbuat dosa. Matanya, telinganya, bibirnya, kaki dan tangannya selalu berat untuk melakukan dosa. Kenapa? Kerana cahaya Allah mengungguli di dalam jiwanya.

Wallahuwaliyuttaufiq